Tuesday, December 7, 2010

Makan di warteg kena pajak, layakkah ?

Sebetulnya sudah dari awal isue ini muncul di tv, saya merasa "tersinggung" dan pengin segera curhat. Tapi entah kenapa selalu saya urungkan. Mungkin juga karena saya lagi "puasa" marah. Makin hari beritanya makin rame. Mulai ada respon dan pihak2 yang berkepentingan. Dan tentu saja pro dan kontra muncul, silih ungkih, genti milang tatu. Semua bersuara dengan argumennya masing-masing sesuai tujuannya. Saya masih tetap males komentar.

Tapi hari ini, secara tidak sengaja saya harus mampir di warteg. Satpam pintu depan jaga sendirian. Jelas dia kesulitan untuk meninggalkan pos dan istirahat makan. Semetara hari ini adalah libur tahun baru 1432 H, jadi di rumah juga libur masak. Walhasil saya ke warteg, supaya pak satpam tidak puasa. Sebungkus nasi lengkap dengan sayur dan lauk saya bawa pulang. Harganya "cuma" Rp. 11.000. 

Sampai rumah baru saya inget tentang isue yang lagi panas belakangan ini. Apalagi kalau bukan pajak untuk warteg. Lalu saya hitung, kalau nasi bungkus yang tadi saya beli sudah kena PPN 10%, berarti saya harus membayar Rp. 12.100 . Nanti pihak warteg akan menyetorkan ke negara sebesar Rp. 1.1000 sebagai pajak saya beli nasi bungkus tadi.

Kemaren di TV, bapak pejabat  itu bilang begini :
 "Lho pemilik warteg tidak usah kawatir, khan yang membayar pajak bukan pengusaha, tetapi pajak itu di bebankan kepada konsumen" . 

Lalu ada lagi kata2 ini dari bapak pejabar di tv itu :
"Warteg yang akan di kenakan pajak itu adalah warteg yang mempunyai ( omset atau profit? ) sekian juta per tahunnya, jadi sudah memenuhi syarat"

Kemudian ada pula jawaban dari pak pejabat yang menjawab pertanyaan mas wartawan begini :
"Nanti dari bon-bon yang ada, kita periksa, lalu kita tentukan berapa pajak yang harus di bayar kan kepada negara oleh pengusaha warteg atau warung makan ini"

Menurut logika saya, semua ucapan bapak pejabat itu kok "mbelgedes" pooll. 
Pertama, kalau yang di kenakan pajak itu konsumen alias pembeli, lha dasarnyanya apa coba? Pembeli itu makan di warteg karena milih yang murah. Disesuaikan dengan kemampuannya. Dia beli makan itu tidak dapet untung. Beli makan juga untuk bertahan hidup. Lha kenapa harus bayar pajak ?? Yang dapet keuntungan khan pemilik warteg, kenapa yang bayar pajak konsumennya ?
Boro2 buat bayar pajak, buat beli makannya aja di pas-pasin. Lauk di itung2 harganya biar duitnya cukup. Masa untuk sekedar mengganjal rasa lapar dan bertahan hidup harus bayar pajak ? Logika dari mana mbah...mbah !! ayo jawab coba !!

Kedua, kalau dasar perhitungan pengenaan pajak adalah dari omset atau profit warteg yang mencapai sekian juta pertahun atau perhari atau perbulan. Tapi yang bayar pajak adalah konsumen, berarti warteg tersebut tetap tidak membayar apa-apa toh? Jadi berapapun keuntungan dia tidak akan berkurang karena yang membayar pajaknya adalah konsumen. Lalu ngapain pakai tolok ukur besar omset atau keuntungan segala, toh yang bayar bukan pemilik wartegnya? 

Ketiga, warteg itu jelas bukan badan hukum. Jumlahnya mungkin jutaan. Bagaimana mendatanya ? Penghitungan pajak dengan dasar bon atau nota penjualan, siapa yang melakukan? warteg tidak punya departemen accounting. Bayar konsultan juga tidak mungkin. Lalu siapa yang mau melakukan perhitungan ? Oleh aparat pajak ? Mbelgedes !! ngurusin yang sudah ada aja kalang kabut. Apalagi di tambah ngurusi jutaan warteg. Walhasil apa yang terjadi? pasti ada kongkalikong antara oknum penghitung dan yang di hitung. Akhirnya adalah korupsi. Kalau sampai terjadi korupsi, duit siapa itu yang dikorupsi ? Duit konsumen. Duit pembeli. Artinya duit rakyat juga. Dan yang korupsi siapa? ya oknum pejabat pemungut pajak juga. Dan bisa saja warteg juga akan di untungkan atau bisa juga di rugikan. Jadi menurut logika saya, system seperti ini adalah system  mbelgedes. Ra mutu blass.

Keempat, kalau dasar pengenaan pajak adalah omset atau profit dari warteg, maka nanti ada tradisi baru bagi para calon pembeli. Sebelum makan di warteg saya akan tanya dulu apakah makan disini kena pajak atau tidak, kalau kena pajak saya akan pindah ke warteg sebelah yang lebih sepi, dan bisa makan tenang karena warteg itu tidak kena pajak. Yang terjadi adalah, warteg kecil2 di gang2 sempit jadi rame, dan warteg yang cukup besar jadi sepi kaya kuburan karena pembelinya pindah. Kalau warteg kecil udah jadi rame, sehingga harus bayar pajak, pembeli pindah lagi. Akhirnya main kucing2an deh. Lha ini peraturan model opoooooo....???!!!!

Akhirnya lagi-lagi, rakyat kecil yang jadi objek pemerasan oleh penguasa. Kalau negara kekurangan duit, rakyat yang harus nanggung. Kalau kelebihan duit, penguasa pesta sendirian. Itu namanya mbelgedes !! 

Kalau memang butuh tambahan pemasukan, kenapa tidak perusahaan2 besar yang udah jelas omset dan profitnya, jelas badan hukumnya. Jelas dalam menggunakan fasilitas negara ,yang di perbesar pajaknya ? Kalaupun mereka membayar pajak lebih, tidak akan sampai bangkrut karena semua bisa di hitung costnya. Tapi kalau kere jalanan, makan diwarteg juga di pungut pajak, maka dimana hati nurari penguasa ?? Boro2 bisa melaksanakan amanat Pancasila dan UUD 45, tentang Kesejahteraan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ??

Logika saya yang orang awam, bener2 tidak mudeng dengan cara berfikir para penguasa yang hanya melihat sesuatu dari kaca matanya sendiri saja.

Jujur saja, saya mulai TIDAK RELA membayar pajak, setelah banyak tahu bahwa pengelolaanya semrawut gak karu2an. Disamping banyak yang di korupsi, juga penggunaannya banyak yang tidak sampai ke sasaran.

Ini adalah opini pribadi penulis. Kalau ada yang setuju ya syukur kalau tidak setuju ya karepmu. Saya tidak mencari pembenaran apalagi pengikut. Tidak minat babar blas jadi politikus atau public figure.

No comments: